pencemaran
adalah proses masuknya zat-zat atau energi ke dalam lingkungan oleh aktifitas
manusia secara langsung yang mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan
sedemikian rupa sehingga pada akhirnya akan membahayakan manusia, merusak
lingkungan hayati (sumberdaya hayati) dan ekosistem serta mengurangi atau
menghalangi kenyamanan dan penggunaan lain yang semestinya dari suatu sistem
lingkungan (Romimohtarto, 1991)
GESAMP
(1978), mendefenisikan pencemaran merupakan Pencemaran adalah proses masuknya
zat-zat atau energi ke dalam lingkungan oleh aktifitas manusia secara langsung
yang mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan sedemikian rupa sehingga
pada akhirnya akan membahayakan manusia, merusak lingkungan hayati (sumberdaya
hayati) dan ekosistem serta mengurangi atau menghalangi kenyamanan dan
penggunaan lain yang semestinya dari suatu sistem lingkungan (Romimohtarto,
1991)masuknya atau dimasukkannya zat atau energi oleh manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung ke dalam lingkungan laut yang menyebabkan efek
merugikan karena merusak sumberdaya hayati, membahayakan kesehatan manusia,
menghalangi aktifitas di laut termasuk perikanan, menurunkan mutu air laut yang
digunakan dan mengurangi kenyamanan di laut.
Kegiatan di laut yang merupakan
sumber pencemaran, yaitu :
1.
Pencemaran yang bersumber dari kegiatan pelayaran
Pencemaran ini diakibatkan oleh kegiatan pengoperasian normal kapal,
adanya kebocoran bahan bakar minyak dari instalasi permesinan, pipa-pipa,
tangki-tangki, tumpahan lain, atau adanya bekas cucian, yang akhirnya tercampur
dalam air, sehingga menjadi
limbah berminyak. Pencemaran akibat kecelakaan kapal yang
terjadi karena adanya tumpahan-tumpahan muatan minyak, muatan bahan cair
beracun sebagai akibat terjadinya kecelakaan kapal seperti tubrukan, kandas,
kebakaran, dan sebagainya.
2.
Pencemaran laut yang bersumber dari kegiatan
penambangan minyak lepas pantai.
Pencemaran dari pengeboran minyak lepas pantai ini disebabkan oleh
buangan dan bocoran lumpur bor bekas, minyak endapan serta bocoran pada saat
eksploitasi dan pada saat pengoperasian pengangkutan dari anjungan ke kapal
tanker.
3.
Pencemaran yang bersumber dari kegiatan dumping di
laut.
Aturan khusus dumping di laut belum ada sehingga masih banyak kegiatan
dumping di laut dan pantai secara liar.
Semakin banyaknya kegiatan industri akan mengakibatkan makin banyak
limbah industri yang dibuang di laut (Rahim, 1998).
Sebetulnya
cemaran minyak yang ada di perairan itu dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain : kecelakaan dan tumpahan selama proses produksi, transportasi dan
penggunaan, presipitasi dari atmosfer, limbah domestik dan industri serta
karena rembesan alamiah dari dasar laut (Saparinto, 2002).
Sampai saat ini, hanya dampak berupa
pencemaran minyak yang sudah dibuat implikasinya terhadap tingkat kerentanan
ekosistem pesisir. Sloan (1993) telah
menyusun tingkat kerentanan berbagai ekosistem pesisir utama terhadap tumpahan
minyak, seperti yang disajikan pada :
Tabel 1. Tingkat Kerentanan (TK) dari Setiap Habitat
(Sloan, 1993)
Tingkat
Kerentanan
|
Keterangan
|
Tipe
Habitat
|
5
|
Sangat Tinggi
|
o
Mangrove
o
Rawa Payau
o
Daerah Pasang Surut berbatu terlindung
o
Penggunaan khusus (misalnya untuk jenis
langka)
|
4
|
Tinggi
|
o
Terumbu Karang
o
|
3
|
Sedang
|
o
Perairan semi terbuka (teluk, dermaga)
|
2
|
Kurang
|
o
Pantai berpasir
o
Pantai berbatu
|
1
|
Rendah
|
o
Daerah Pasang Surut berbatu terbuka
o
Hutan Kelp
o
Perairan terbuka (lepas Pantai)
o
Subtidal berbatu (karang keras dasar/berbatu)
o
Subtidal berbatu limbah lunak
|
Tinjauan Parameter
Fisika Oseanografi
a. Pasang Surut
Pasang surut pada umumnya adalah gerakan naik turunnya dari permukaan air
laut disebabkan oleh gaya tarik menarik benda-benda angkasa terutama bulan dan
matahari terhadap permukaan bumi.
Tampilan pasang surut yang terjadi di pantai sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor lokal seperti dasar laut, lebar selat, bentuk teluk dan
sebagainya (Nontji, 1993).
Pasang surut merupakan salah satu
pembangkit terjadinya arus sehingga dapat menyebabkan sirkulasi air. Menurut Triatmojo (1999), pasang surut
dibedakan atas empat tipe yaitu :
§
Pasang harian ganda (semi diurnal tide). Dalam
satu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama
dan pasang surut terjadi secara berurutan teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 24 jam
50 menit.
§
Pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan
satu kali surut. Periode pasang surut
adalah 24 jam 50 menit.
§
Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal). Dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan
dua kali surut tetapi tinggi dan periodenya berbeda.
§
Pasang surut campuran condong ke harian tunggal
(mixed tide prevailing diurnal). Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang
dan satu kali air surut, tapi kadang-kadang terjadi dua kali pasang dan dua
kali surut dengan tinggi dan perode yang berbeda.
Pasang surut di perairan nusantara pada umumnya bersifat campuran. Adapun sifat campuran ini disebabkan terutama
oleh pengaruh interverensi gelombang-gelombang pasang surut yang datang dari
samudera Hindia dan samudera Pasifik yang kedua-duanya bersifat campuran,
terutama harian ganda. Kecuali itu juga
interverensi dari gelombang pasang surut dari laut Cina yang bersifat Harian
Tunggal. Hasil pasang surut campuran
ditentukan oleh perbandingan antara tunggang air kelompok harian tunggal dan
kelompok harian ganda, dan hanya dalam keadaan luar biasa salah satu dari
kelompok itu berkerja secara tersendiri (Uktolseya, 1994).
Pengaruh minyak pada organisme di daerah pantai
akan berbahaya apabila tumpahan minyak tersebut terhembus oleh angin dan
bergerak akibat pasang surut air laut hingga terperangkap pada sedimen-sedimen
di daerah pantai. Kondisi ini akan menjadikan terhambatnya proses rekolonisasi
biota yang tumbuh di daerah tersebut. Ada kecenderungan tumbuhan darat (terestrial), terutama mangrove lebih
peka terhadap pengaruh racun minyak dari pada algae. Oleh karena
pengaruh pasang surut, batang dan akar mangrove terkena kontak langsung, menjadikan
daun mangrove akan menguning dan berguguran dan mati. Minyak diesel pada konsentrasi 100 ppm
menyebabkan terjadinya gugur daun, kemudian akan pulih kembali. Namun pada
konsentrasi 1000 - 10000 ppm semua benih mati dalam waktu dua minggu
(Saparinto, 2002).
b. Arus permukaan
Faktor utama timbulnya arus di laut adalah radiasi matahari. Pemanasan yang berbeda-beda di bagian bumi,
udara di atas bumi mengalami tekanan yang berbeda-beda yang mengakibatkan angin
berhembus. Angin yang berhembus di atas laut, menyebabkan massa air laut di bagian
permukaan ikut terseret, maka timbullah arus laut. Pemanasan air yang tidak merata juga
menyebabkan suhu perairan di muka bumi tidak sama, dan dapat mengakibatkan
perbedaan densitas. Proses ini pula
dapat menyebabkan terjadinya arus laut (Birowo, 1994)
Sirkulasi arus di permukaan banyak dipengaruhi oleh angin musim, sehingga
pola sirkulasi sesuai dengan pola angin.
Pada musim barat arus permukaan bergerak dengan arah utama dari barat ke
timur, dan pada musim timur terjadi sebaliknya (Uktolseya, 1994)
Hal senadapun dikemukakan oleh Rahim (1998), bahwa arus merupakan
penyebab timbulnya sirkulasi air baik dalam bentuk penyebaran (diffusion) maupun arus vertikal,
sehingga terjadi proses percampuran partikel-partikel dalam air. Dengan adanya arus
laut serta proses difusi, maka fragmen-fragmen minyak dapat menyebar secara
horisontal seiring dengan perjalanan waktu.
Proses
masuknya bahan pencemar ke dalam perairan laut dan kemudian dialirkan melalui
tingkat-tingkat tropik yang terdapat pada lingkungan tersebut dipicu oleh tiga
faktor yaitu :
1. Disebarkan melalui adukan/turbulensi, dan arus laut.
2. Dipekatkan melalui proses biologi.
Diserap oleh ikan, plankton nabati atau ganggang, dan melalui
proses fisik dan kimiawi dengan cara absorbsi, pengendapan dan pertukaran ion.
Bahan pencemar ini akhirnya akan
mengendap di dasar laut,
3. Terbawa langsung oleh arus dan biota laut
(ikan).
Sebagian bahan pencemar yang masuk ke
dalam ekosistem laut dapat diencerkan dan disebarkan ke seluruh wilayah laut
melalui adukan turbulensi dan arus laut. Untuk wilayah-wilayah laut yang luas
dan terbuka dengan pola arus dan turbulensi yang aktif, bahan-bahan pencemar akan
terurai dan terbuang ke perairan laut yang lebih luas sehingga dapat
meminimalkan konsentrasi akumulasinya dalam suatu badan perairan. Akan tetapi
pada wilayah-wilayah laut yang sempit dan tertutup, bahan pencemar akan mudah
sekali terakumulasi di dalam suatu badan perairan.
Bahan
pencemar tersebut sebagian lagi tersebut akan terbawa oleh arus laut atau biota
yang sementara melakukan migrasi/ruaya ke wilayah laut lainnya, dan akan lebih
menguntungkan apabila terbawa ke perairan laut terbuka. Sedangkan sebagian lagi
yang tidak dicencerkan dan disebarkan serta terbawa ke wilayah-wilayah laut
yang luas dan terbuka, akan dipekatkan melalui proses biologi, fisik dan
kimiawi, dimana dalam proses biologi, bahan pencemar biasanya diserap oleh
organisme laut seperti ikan, fitoplankton maupun tumbuhan laut kemudian diserap
lagi oleh plankton nabati kemudian akan berpindah ke tingkat-tingkat tropik
selanjutnya seperti avertebrata dan zooplankton
dan kemudian ke ikan dan mamalia.
Sedangkan dalam proses fisik dan kimiawi, bahan pencemar akan
diabsorbsi, diendapkan dan melakukan proses pertukaran ion. (Siahainenia, 2001)
Proses yang dialami minyak cemaran ini adalah emulsifikasi, evaporasi,
dan fotooksida. Proses ini tidak
terlepas dari keadaan laut itu sendiri terutama gelombang dan arus yang dapat
mencampur maupun membawa minyak bumi tersebar di permukaan laut. Bentuk laut yang terbuka tentu berbeda dengan
laut yang tertutup. Pada laut yang
terbuka arus yang bergerak lebih besar dan tempat pergerakannya lebih luas
(Rahim, 1998).
c. Gelombang
Gelombang laut timbul sebagai akibat gangguan dari luar terhadap suatu
perairan (angin, gerakan kapal, gempa bumi).
Dari tempat gangguan, gelombang merambat secara mendatar di permukaan
air ke segala arah. Bentuk gelombang
sebenarnya sangat kompleks, namun dalam usaha mempelajarinya banyak diadakan
anggapan-anggapan. Gelombang laut sering
dianggap sebagai penjumlahan/super posisi beberapa gelombang sederhana.
Gelombang yang datang mendekati pantai/daerah dangkal, kecepatan dan
panjang gelombang mengecil, sedang elevasi dan keterjalannya bertambah. Pada daerah dimana tinggi gelombang sama
dengan kedalaman perairan, gelombang pecah/collaps. Keterjalan gelombang, kemiringan dasar, dan
angin adalah faktor-faktor penting dalam mempelajari sifat pecahnya gelombang
(Birowo, 1994)
Gelombang atau ombak adalah pergerakan dari titik-titik air (kebanyakan
naik turun), adalah fenomena yang terbanyak dijumpai di permukaan laut. Terdapat banyak sekali macam gelombang dengan
periode yang bermacam-macam pula.
“Gelombang angin” yang disebabkan oleh angin, yang merupakan gelombang
gravitasi permukaan (surface gravity
waves) dengan periode antara 1 – 30 detik (Uktolseya, 1994)
Triatmodjo (1999), mengatakan bahwa gelombang laut merupakan salah satu
yang paling penting dalam mempelajari dinamika perairan, dan yang paling
berpengaruh pada pembentukan gelombang laut adalah angin dan pasang surut.
Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam tergantung pada gaya
pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah
gelombang angin yang dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut,
gelombang pasang surut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama
matahari dan bulan terhadap bumi, dan
gelombang tsunami yang terjadi karena letusan gunung berapi atau gempa di laut,
serta gelombang lain yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak dan
sebagainya.
Energi angin serta ombak laut menyebabkan
tumpahan-tumpahan minyak dapat pecah menjadi fragmen-fragmen kecil yang
kemudian menyebar maupun teradveksi dari tempat tumpahan. Apabila perairan
pantai tercemar, akan mempunyai pengaruh pada kehidupan yang ada disekitarnya,
bahkan karena terkena arus, angin atau gulungan ombak akan sampai di perairan
estuaria (estuarine areas), terumbu
karang (coral reef), padang lamun (sea gress) atau hutan bakau (mangrove).
Pengaruh spesifik dari peristiwa tumpahan minyak
terhadap lingkungan perairan laut dan pantai tergantung pada jumlah minyak yang
tumpah, lokasi kejadian dan waktu kejadian. Buangan dan tumpahan minyak bumi
akibat kegiatan penambangan dan pengangkutannya dapat menimbulkan pencemaran
laut yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut. Pengaruh
buangan/tumpahan minyak terhadap ekosistem perairan laut adalah dapat
menurunkan kualitas air laut secara fisik, kimia, dan biologis (Saparinto, 2002).
Cemaran Minyak
a.
Minyak Bumi (Hidrokarbon Petroleum)
Minyak
bumi merupakan campuran
komponen-komponen bahan organik alami yang sangat kompleks yang dibentuk dari
hasil perombakan-perombakan hewan dan tumbuhan setelah kurun waktu
geologis. Bahan-bahan organik ini
tersimpan dalam bentuk fosil di tempat yang tidak beroksigen.
Minyak
bumi (petroleum) terdapat dalam bentuk gas (gas alam), cair (minyak mentah),
padat (aspal, tar, bitumen) atau sebagai bentuk dari kombinasi unsur tersebut. Minyak bumi yang berbentuk cair biasanya bervariasi
mulai dari yang tidak berwarna sampai berwarna hitam seperti tar. Kebanyakan
minyak mentah (crude oils) berwarna
gelap, coklat kekuningan, merah kehitaman atau kehijauan apabila terefleksi
cahaya (Supriharyono, 2000).
Minyak
bumi mengandung beribu-ribu komponen kimia yang berbeda dan lebih dari separuh
(50 – 98 %) berupa hidrokarbon. Komponen utama hidrokarbon penyusun minyak bumi
ada tiga yaitu paraffinic hydrocarbons (alkanes), naphthenic
hydrocarbons (alicylic), dan aromatik. Alkanes relatif tidak beracun dan
tidak bisa diuraikan secara biologis oleh kebanyakan mikroba. Semakin panjang
rantai karbonnya semakin sulit untuk diuraikan, begitu pula dengan alicyclic. Sedang benzen salah satu
komponen dari aromatic lebih beracun dan sangat mudah berubah menjadi gas dan
menguap. Selain hidrokarbon,
minyak bumi juga mengandung komponen organik lainnya, yaitu semacam nitrogen,
belerang, oksigen dan logam atau semacam logam. Komponen-komponen tersebut
dapat diuraikan secara biologis oleh mikroorganisme (Saparinto,
2002).
Jenis minyak juga perlu diperhatikan, sebab minyak mengandung beribu-ribu
komponen kimia yang berbeda, yang daya larutnya dan daya racunnya juga berbeda.
Sebagai contoh, komponen aromatik cenderung lebih mudah larut dan mudah
menyebar dibanding paraffinic dan naphthenic. Namun, komponen aromatik
cenderung lebih beracun dibanding komponen lainnya (Vin, 2002).
Menurut Wardhana (2001), Hidrokarbon atau sering disingkat HC, penyusun
utamanya adalah atom karbon dan atom hidrogen yang dapat terikat (tersusun)
secara ikatan lurus (ikatan rantai) atau terikat secara ikatan cincin (ikatan
tertutup). Jumlah atom karbon (atom C)
akan menentukan bentuknya, apakah akan berbentuk gas, cairan, ataukah padatan. Pada suhu kamar umumnya hidrokarbon suku rendah
(jumlah atom C sedikit) akan berbentuk gas, hidrokarbon suku menengah (jumlah
atom C sedang) akan berbentuk cairan dan hidrokarbon suku tinggi (jumlah atom C
banyak) akan berbentuk padatan. Selain
dari pembagian tersebut, hidrokarbon dibagi pula berdasarkan bentuk ikatannya
misalnya senyawa alkana dengan rumus molekul CnH2n+2,
senyawa alkena dengan rumus molekul CnH2n, dan alkuna dengan rumus molekul CnH2n-2.
Pembagian hidrokarbon berdasarkan jumlah atom C yang dikandungnya yakni sebagai
berikut :
ª
HC suku rendah (jumlah atom C 1 – 4), berbentuk
gas :
C
= 1 = Metana CH4
C
= 2 = Etana C2H6
C = 3 = Propana C3H8
C
= 4 = Butana C4H10
ª
HC suku sedang (jumlah atom C antara 5 – 15),
berbentuk gas :
C
= 5 = Pentana C5H12
C
= 6 = Heksana C6H14
C = 7 =
Heptana C7H16
C
= 8 = Oktana C8H18
C
= 9 = Nonona C9H20
C
= 10 = Dekana C10H22
C = 13 = Propa dekana C13H28
C
= 15 = Penta dekana C15H32
ª
HC suku tinggi (jumlah atom C lebih dari 15),
berbentuk padatan :
C
= 16 = Heksa dekana C16H34
C
= 18 = Okta dekana C18H38
C = 20 = Eta dekana C20H42
C
= 30 = Propa kontana C30H62
Lain lagi dengan lumpur minyak (sludge) yang merupakan suatu produk
sampingan yang dihasilkan dari kegiatan eksploitasi minyak bumi. Lumpur minyak
ini dihasilkan mulai saat pengeboran di sumur minyak di lepas pantai hingga di
kilang-kilang minyak. Proses terjadinya menyerupai air ledeng yang meninggalkan
lumpur tipis di dasar bak atau ember. Lumpur minyak ini mengandung berbagai
logam berat yang berbahaya. Jika menumpuk di tanah, bisa merembes dan mencemari
sumber air tanah. Sludge dianggap sebagai limbah yang dibuang percuma karena
kandungan padatan serta kandungan airnya lebih dari 5 %. Kalaupun diolah,
kurang bernilai ekonomis, bahkan kandungan airnya yang terlampau tinggi bisa
merusak kilang (Jaringan Advokasi Tambang, 2004).
b.
Sumber hidrokarbon dalam lingkungan laut
Sumber pencemaran perairan pesisir biasa terdiri
dari limbah industri, limbah cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban
stormwater), pelayaran (shipping),
pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan
pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa sedimen,
unsur hara (nutriens), logam beracun
(toxic metals), pestisida, organisme
eksotik, organisme pathogen, sampah, dan oxygen
depleting substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut
dalam air laut berkurang).
Bahan pencemar yang
berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah tangga di daratan
akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif
bukan saja pada perairan sungai tetapi juga perairan pesisir dan lautan.
Dampak yang terjadi kerusakan ekosistem bakau, terumbu karang, kehidupan dari
jenis-jenis biota (ikan, kerang, keong), terjadi abrasi, hilangnya benih
banding dan udang. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan terhadap bahan-bahan yang akan dibuang ke perairan, termasuk
perairan wilayah pesisir yaitu :
1.
Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan;
3.
Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan
biologi bahan buangan dengan lingkungan perairan.
4. Pengaruh bahan buangan
terhadap kehidupan dan rantai makanan;
5.
Proses degradasi dan perubahan biogeokimia;
6.
Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan
pencemar di hari depan;
7.
Faktor-faktor lain yang khas.
Perlu juga diperhatikan kemungkinan
terjadinya proses saling menunjang atau proses saling menetralkan antara dampak
bahan pencemar yang telah ada dengan bahan pencemar yang masuk kemudian. Oleh karena itu penting diketahui sifat fisik
kimia bahan pencemar maupun perairan, dan kemungkinan terjadinya peningkatan
pencemaran serta perusakan lingkungan. (Pagoray, 2003).
Secara umum sumber hidrokarbon dapat dibagi dalam dua bagian besar yaitu
hidrokarbon alamiah dan hidrokarbon antropogenik.
Ø
Biogenik
Hidrokarbon Biogenik adalah hidrokarbon yang dihasilkan dari aktivitas
organisme laut dan darat. Hidrokarbon
ini dapat dilepaskan selama metabolisme atau jika organisme tersebut mati. Disamping itu, organisme tersebut menggunakan
hidrokarbon sebagai makanan dan digunakan untuk mengubah senyawa-senyawa
prekursor yang berhubungan dengan makanannya.
Ø
Pirolitik
Hidrokarbon hasil pirolitik adalah hidrokarbon yang berasal dari
pembakaran hutan, yang dibawa oleh air hujan atau melalui saluran-saluran
pembuangan masuk ke dalam lingkungan
laut. Hidrokarbon ini juga bisa berasal
dari pembakaran kendaraan bermotor yang menggunakan lingkungan laut sebagai
sarana transportasi.
Ø
Diagenetik
Hidrokarbon yang dihasilkan akibat adanya proses kimia yang berlansung
dalam waktu pendek.
Ø
Geokimia
Hidrokarbon yang dihasilkan dari akibat proses geokimia seperti
penyusunan minyak dari tanah bawah laut dan pantai berlangsung dalam jangka
waktu yang sangat lama (jutaan tahun).
Ø
Antropogenik
Hidrokarbon ini berasal dari sumber alam tetapi kebanyakan berasal dari
minyak bumi (petroleum hidrokarbon) dan hasil produksinya. Hidrokarbon ini terutama berasal dari
petroleum yang dibuang dari aktivitas manusia dan merupakan sumber pencemaran
yang besar di laut (Noor dan Mille, 1987).
Sedangkan menurut Freedman (1989)
bahwa Unsur Hidrokarbon secara kuantitatif sangat penting dari petroleum. Hidrokarbon dapat diklasifikasikan dalam tiga
bagian besar, yaitu :
Æ
Hidrokarbon Aliphatic, jika ada hanya satu jenis
antara semua struktur atom karbon, molekul tersebut akan menjadi sama. Senyawa aliphatic diketahui sama dengan
parafin atau alkana, dan mereka adalah zat kimia yang lebih stabil. Seperti
diilustrasikan dengan mengikuti seri dari dua karbon aliphatic : Ethana (H3C-CH3),
ethilen (H2C=CH2), dan acetilen (H3CCH3).
Æ
Hidrokarbon Alicyclic, hampir sama dengan semua
atom karbon dalam satu rangkaian struktur.
Æ
Hidrokarbon Aromatik adalah hidrokarbon yang
terdiri dari enam rangkaian karbon dalam struktur molekulnya, semisal C6H6
atau biasa dikenal dengan benzena.
Sumber bahan buangan minyak di lingkungan laut dan presentase input
pertahun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Presentase Input Bahan Buangan Minyak
Pertahun (Romimohtarto, 1991)
Sumber
|
Metrik
ton/tahun
|
Prosentase
input/tahun (%)
|
Transportasi
Buangan Industri
Atmosfir
Alam
Produksi Laut Lepas
|
1.47
1.18
0.30
0.24
0.05
|
45.30
36.30
9.20
7.70
1.50
|
Total
|
3.24
|
100
|
Tabel 2 menunjukkan sumber-sumber
yang telah diestimasi atau diperkirakan dan besarnya input minyak ke lingkungan
laut. Kesemuanya itu berangkat dari
asumsi bahwa semua buangan minyak pada berbagai titik di dunia berakhir di
samudera (Romimohtarto, 1991).
Secara teoritis, tumpahan minyak
memang tidak selamanya berasal dari kecelakaan kapal seperti karam, tabrakan,
atau tenggelam. Bisa juga tumpahan minyak yang mencemari laut ini karena
kesengajaan, misalnya air ballas atau air bercampur minyak dari sisa pencucian
kapal tanker. Bisa juga limbah minyak ini berasal dari tar ball (kerak minyak mentah) yang dibuang oleh kapal yang
kebetulan sedang melintas. Tetapi, tidak menutup kemungkinan pula berasal dari
pertambangan minyak di lepas pantai (Jaringan Advokasi Tambang, 2004).
c.
Proses Transformasi Minyak Bumi dalam lingkungan Laut.
Secara
garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya
pesisir dan lautan di Indonesia
yaitu : pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam,
abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan
lainnya dan bencana alam (Pagoray, 2003)
Minyak
bumi yang masuk ke lingkungan laut dari berbagai sumber mengalami transformasi
dalam laut dengan melibatkan proses fisika, kimia, dan biologi seperti berikut
ini :
1.
Penyebaran (Spreading)
Minyak bumi dan produk destilatnya yang terbuang ke laut menyebar dengan
cepat yang dipengaruhi oleah angin, gelombang dan arus terutama sifat-sifat
fisika dan kimia. Dari penyebaran minyak
ini akan terbentuk lapisan minyak tipis yang kemudian terpecahkan oleh
gelombang dan kemudian lapisan minyak menghilang dari permukaan laut (terdispersi) karena mengalami
proses-proses turbulensi. Penyebaran
lapisan tipis hingga beberapa milimeter tergantung pada viskositas minyak yang
dominan. Kedalaman lapisan atau dalam
bentuk gumpalan-gumpalan minyak yang tenggelam dari permukaan laut sangat
tergantung pada energi pengadukan (mixing). Ketika energi pengadukan mulai berkurang,
maka terdapat kemungkinan lapisan atau gumpalan-gumpalan tersebut muncul
kembali ke permukaan laut.
2.
Penguapan (evaporasi)
Proses penguapan merupakan proses fisika dimana proses ini tergantung
pada titik didih dan berat molekul minyak bumi yang masuk ke laut, hampir
seluruh hidrokarbon dibawah C15 (titik didih < 250 oC)
akan teruapkan dari permukaan laut.
Hidrokarbon rentang C15 – C25 menunjukkan volatilitas
terbatas dan banyak yang tinggal dalam minyak.
Sedangkan hidrokarbon diatas C25 sangat sedikit yang hilang
dari proses ini. Jika penguapan yang
terjadi sangat kecil, molekul atau partikel-partikel yang tidak menguap akan
membentuk agregat bergabung menjadi besar dan kemudian turun ke sedimen.
3.
Pelarutan
Pelarutan erat hubungannya dengan komposisi, struktur, dan berat molekul
senyawa. Kecepatan dari proses ini
ditentukan oleh angin, keadaan laut dan molekul minyak bumi (komposisi kimia, spesifik
gravity, dan viskositas). Akhir dari
proses pelarutan menghasilkan minyak yang terlarut dalam badan air.
4.
Emulsifikasi
Emulsifikasi adalah proses dimana minyak tersuspensi ke dalam air yang
disebabkan oleh banyaknya komponen minyak bumi yang tidak dapat larut dalam
air. Gerakan penyebaran minyak bumi
mempengaruhi formasi pembentukan emulsi.
Bentuk emulsinya tergantung pada perbandingan volume air atau minyak dan
proses fisika, seperti guncangan dan lain-lain.
Emulsi minyak dalam air disebarkan secara perlahan oleh aliran dan
perputaran pada permukaan, khususnya pada laut berombak. Akhir dari bentuk emulsi ini, semakin banyak air yang bergabung dengan material
padat lainnya dan kemudian bersama-sama turun ke sedimen atau mengendap (sinking). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya densitas
minyak baik karena proses penguapan (evaporasi)
ataupun proses dimana berat molekul terendah masuk ke air secara vertikal dan
kemudian menghilang ke dalam kolom air (dissolusi)
yang diatur oleh banyak parameter termasuk viskositas minyak dan kondisi cuaca
di laut.
5.
Degradasi Mikroba
Degradasi merupakan proses alami yang sangat penting bagi penguraian
minyak bumi oleh mikroorganisme setelah mengalami proses fisika dan kimia. Mikroorganisme seacar aktif berada di lapisan
batas antara minyak dan air. Luas
permukaan minyak di atas air kecil, sehingga proses degradasi berlangsung lama.
Pada proses ini minyak terdegradasi tidak sempurna atau tidak seluruhnya
terdegradasi. Mikroorganisme hanya
mendegradasi beberapa jenis senyawa hidrokarbon dalam minyak. Kecepatan fotooksida pada minyak terjadi di
alam, terutama minyak bumi yang mengandung N, S, dan O. Oksidasi mikrobial dari minyak biasanya
dilakukan oleh bakteri acinomycetes,
fungi dan ragi. Proses tersebut berjalan
baik secara aerobik maupun anaerobik.
6.
Sedimentasi
Minyak bumi yang akan mengalami sedimentasi memerlukan kerapatan yang
cukup untuk turun ke sedimen. Selain itu
adanya adsorbsi minyak bumi oleh adanya partikuler perairan juga akan
mempercepat sedimentasi. Konstituen
minyak bumi yang tahan terhadap proses degradasi akan bergabung membentuk suatu
gumpalan-gumpalan. Adanya gerakan air
laut, gumpalan-gumpalan minyak akan turun ke dasar laut. Kemungkinan lain dapat juga terbawa ke pantai
sehingga di sepanjang pantai akan ditemukan gumpalan-gumpalan minyak (tarball). Proses sedimentasi sangat tergantung pada
kondisi lingkungan perairannya, seperti salinitas, suhu, turbulensi, kekeruhan,
kandungan oksigen, dan kandungan bakteri yang dapat mendegradasi gumpalan minyak. Selanjutnya minyak dapat mengapung kembali
dari sedimen jika massa minyak telah berkurang sampai pada kondisi tertentu (resurfacing) (Wahjudi dan Bilal, 1976).
d. Dampak Pencemaran Minyak di laut
Minyak tidak dapat larut dalam air,
melainkan akan mengapung diatas permukaan air.
Bahan buangan cairan berminyak yang dibuang ke air akan mengapung
menutupi permukaan air. Kalau bahan
buangan cairan mengandung senyawa yang volatil maka akan terjadi penguapan dan
luasan permukaan minyak yang menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan luasan permukaan tergantung pada
waktu dan jenis minyaknya. Lapisan
minyak yang menutupi permukaan air dapat juga terdegradasi oleh mikroorganisme
tertentu, namun memerlukan waktu yang cukup lama (Wardhana, 2001)
Tumpahan minyak bumi
pada perairan laut akan membentuk lapisan filem pada permukaan laut, emulsi
atau mengendap dan diabsorbsi oleh sedimen-sedimen yang berada di dasar
perairan laut. Minyak yang membentuk lapisan filem pada permukaan laut akan
menyebabkan terganggunya proses fotosintesa dan respirasi organisme laut.
Sementara minyak yang teremulsi dalam air akan mempengaruhi epitelial insang
ikan sehingga mengganggu proses respirasi. Sedangkan minyak yang terabsorbsi
oleh sedimen-sedimen di dasar perairan akan menutupi lapisan atas sedimen
tersebut sehingga akan mematikan organisme penghuni dasar laut dan juga
meracuni daerah-daerah pemijahan.
Akibat terganggunya
proses fotosintesa maka populasi plankton akan menurun. Penurunan populasi
plankton akan diikuti oleh penurunan populasi organisme pemakan plankton
(misalnya : ikan) yang diikuti pula dengan penurunan populasi burung pemakan
ikan. Menurunnya populasi burung akan mengakibatkan guano (penghasil fosfat)
berkurang sehingga akan terjadi penurunan hasil perikanan. Selain itu,
buangan/tumpahan minyak yang menyebar dengan cepat ke wilayah laut yang lebih sempit
akan menyebabkan rusaknya ekosistem hutan mangrove, rusaknya tempat-tempat
pemijahan (Spawning ground) sehingga
mengakibatkan terjadinya abrasi dan intrusi air laut (Siahainenia, 2001).
Limbah industri lainnya
yang umumnya terbuang ke badan sungai dan dialirkan ke laut atau yang langsung
terbuang ke laut akan terakumulasi dalam jumlah tertentu yang melebihi
kapasitas daya asimilatif perairan. Bahan
pencemar ini akan menjadi sludge yang
menimbulkan bau busuk. Kandungan kimia sludge dapat menurunkan DO serta
meningkatkan COD dan BOD. Disamping itu sludge mengeluarkan pula bahan beracun
berbahaya seperti sulfida, fenol, Cr (Heksavalen),
Pb(Timbal), dan Cd (Cadmium) yang dapat terakumulasi dalam
organisme perairan tertentu dan secara tidak langsung merupakan ancaman bagi
kehidupan manusia (Suratmo, 1990).
Attamimi, F.,
1992. Penentuan Dampak Biologis Limbah
Industri pada Sungai Tallo. Tesis
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang .
Birowo, S., (1991). Pengantar
Oseanografi. Status Pencemaran
Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya.
LIPI, Jakarta .
Bishop, J. M., 1984. Apllied
Oceanography. John Wiley &
Sons, Inc.. USA .
Dahuri, R., dkk., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita, Jakarta .
Freedman, B., 1989. Oil
Pollution. Environmental Ecology
the Impact of Pollution and Other
stresses on Ecosystem Structure Function.
Academic Press, Inc. USA .
GESAMP, 1978. Report
and Studies. Joint Group of
Experts on the Scientific Aspec of Marine Pollution.
IMCO/I-AO/UNESCO-WHO/IAEA/UN/UNDP/10.
Jaringan Advokasi Tambang, 2004. Gali berita :
pantai balikpapan
tercemar, siapa bertanggungjawab? http://www.jatam.org,
(15 Januari 2005).
Kristanto, S.W., 1995. Toxicity of the Water – Soluble Fraction of
Crude Oil and Partially Combusted Crude Oil to Inland Silverside. Master Thesis. Department Fisheries and Wildlife, Oregon State University . Corvallis ,
Oregon , USA .
Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta
Noor and Mille, G., 1987.
Some Analitycal Aspec of National Hydrocarbon in Marine Sediment. Makalah Sub regional UNESCO, Surabaya .
Pagoray, H., 2003. Lingkungan Pesisir Dan Masalahnya Sebagai Daerah Aliran Buangan Limbah. http://www.yahoo.com,
(15 Januari 2005).
Proyek Pesisir Kalimantan Timur, 2002. Rencana Strategis Pengelolaan Terpadu Teluk
Balikpapan. Balikpapan .
Rahim S.W., 1998.
Kajian Distribusi Cemaran Minyak di Sekitar Pelabuhan Pertamina Ujung
Pandang. Skripsi Jurusan Ilmu
Kelautan, Universitas Hasanuddin, Ujung
Pandang .
Romimohtarto, 1991.
Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia , Jakarta .
Saparinto, C., 2002. Rabuk
Kimia Atasi Cemaran Minyak di Laut. http://www.suaramerdeka.com, (15 januari 2005).
Siahainenia, L., 2001. Pencemaran
Laut, Dampak dan Penanggulangannya. http://www.yahoo.com, (15 Januari
2005)
Sloan, N. A., 1993.
Effect of Oil on Marine Resources : Worldwide Literature Review Relevent to Indonesia . Environmental Management Development in
Indonesia Project (EMDI). EMDI Report,
32. Jakarta dan Halifax Dallhouse
University.
Supriharyono, M. S., 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
di Wilayah Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
Suratmo,
F.G. 1990. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University
Press. Jogjakarta .
Tinsley, I. J., 1979. Chemical Concepts in Pollutant Behavior. John Wiley & Sons, Inc.. USA .
Triatmodjo, 1999. Teknik
Pantai. Beta Offset, Yogyakarta .
Uktolseya, H., 1991. Beberapa
Aspek Fisika Laut dalam Pencemaran.
Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. LIPI, Jakarta .
Vin, 2002. Hati-hati
Membersihkan Laut akibat Tercemar Minyak Tumpah. http://www.kompas.com,
(15 Januari 2005).
Wahjudi dan J. B., 1976. Pencemaran di Daerah Pantai Indonesia,
Permasalahan, Penanggulangan, dan Pengaturannya. Lembaran Publikasi
LEMIGAS No. 2.
Wardhana, W. A., 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi
Offset, Yogyakarta .
Widdow, J., T. Bakke, B.L. Bayne, P. Dosikin, D.R.
Livinsstone, D. M. Lowo, M.N. Moore, S.V. Evans and S.L. Moore, 1982. Response of Mytilus edulis on Exposure to
the Water – Accomodated Fraction of North Sea Oil. Marine Biology 67 : 15 – 32.
Yuniarti E., 2003. Pola
Penyebaran Logam Berat Timbal (Pb) di Perairan Teluk Balikpapan. Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar .
0 komentar:
Posting Komentar